15 Okt 2007 125 Komentar
Dulu,
Indonesia dikenal sebagai sebuah negeri yang subur. Negeri kepulauan yang
membentang di sepanjang garis katulistiwa yang ditamsilkan ibarat untaian
zamrud berkilauan sehingga membuat para penghuninya merasa tenang, nyaman,
damai, dan makmur. Tanaman apa saja bisa tumbuh di sana. Bahkan, tongkat dan
kayu pun, menurut versi Koes Plus, bisa tumbuh jadi tanaman yang subur.
Namun, seiring dengan berkembangnya peradaban umat
manusia, Indonesia tidak lagi nyaman untuk dihuni. Tanahnya jadi gersang dan
tandus. Jangankan tongkat dan kayu, bibit unggul pun gagal tumbuh di Indonesia.
Yang lebih menyedihkan, dari tahun ke tahun, Indonesia hanya menuai bencana.
Banjir bandang, tanah longsor, tsunami, atau kekeringan seolah-olah sudah
menjadi fenomena tahunan yang terus dan terus terjadi. Sementara itu,
pembalakan hutan, perburuan satwa liar, pembakaran hutan, penebangan liar,
bahkan juga illegal loging (nyaris) tak pernah luput dari agenda para
perusak lingkungan. Ironisnya, para elite negeri ini seolah-olah menutup mata
bahwa ulah manusia yang bertindak sewenang-wenang dalam memperlakukan
lingkungan hidup bisa menjadi ancaman yang terus mengintai setiap saat.
Mengapa bencana demi bencana terus terjadi? Bukankah
negeri ini sudah memiliki perangkat hukum yang jelas mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup? Bukankah
Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional telah membangun kesepakatan bersama
tentang pendidikan lingkungan hidup? Namun, mengapa korban-korban masih
terus berjatuhan akibat rusaknya lingkungan yang sudah berada pada titik nadir?
Siapa yang mesti bertanggung jawab ketika bumi ini tidak lagi bersikap ramah
terhadap penghuninya? Siapa yang harus disalahkan ketika bencana dan musibah
datang beruntun menelan korban orang-orang tak berdosa?
Saat ini agaknya (nyaris) tidak ada lagi tanah di
Indonesia yang nyaman bagi tanaman untuk tumbuh dengan subur dan lebat. Mulai
pelosok-pelosok dusun hingga perkotaan hanya menyisakan celah-celah tanah
kerontang yang gersang, tandus, dan garang. Di pelosok-pelosok dusun,
berhektar-hektar hutan telah gundul, terbakar, dan terbabat habis sehingga tak
ada tempat lagi untuk resapan air. Satwa liar pun telah kehilangan habitatnya.
Sementara itu, di perkotaan telah tumbuh cerobong-cerobong asap yang ditanam
kaum kapitalis untuk mengeruk keuntungan tanpa mempertimbangkan dampaknya
terhadap lingkungan. Polusi tanah, air, dan udara benar-benar telah mengepung
masyarakat perkotaan sehingga tak ada tempat lagi untuk bisa bernapas dengan bebas
dan leluasa. Limbah rumah tangga dan industri makin memperparah kondisi tanah
dan air di daerah perkotaan sehingga menjadi sarang yang nyaman bagi berbagai
jenis penyakit yang bisa mengancam keselamatan manusia di sekitarnya.
Sebenarnya kita bisa banyak belajar dari kearifan lokal nenek moyang kita
tentang bagaimana cara memperlakukan lingkungan dengan baik dan bersahabat.
Meski secara teoretis mereka buta pengetahuan, tetapi di tingkat praksis mereka
mampu membaca tanda-tanda dan gejala alam melalui kepekaan intuitifnya. Masyarakat Papua, misalnya,
memiliki budaya dan adat istiadat lokal yang lebih mengedepankan keharmonisan
dengan alam. Mereka pantang melakukan perusakan terhadap alam karena dinilai
bisa menjadi ancaman besar bagi budaya mereka. Alam bukan hanya sumber
kehidupan, melainkan juga sahabat dan guru yang telah mengajarkan banyak hal
bagi mereka. Dari alam mereka menemukan falsafah hidup, membangun religiositas
dan pola hidup seperti yang mereka anut hingga kini. Memanfaatkan alam tanpa
mempertimbangkan eksistensi budaya setempat tidak beda dengan penjajahan.
Namun, sejak kedatangan PT Freeport Indonesia, keharmonisan hubungan masyarakat
Papua dengan alam jadi berubah. Saya kira masih banyak contoh kearifan lokal di
daerah lain yang sarat dengan pesan-pesan moral bagaimana memperlakukan
lingkungan dengan baik.
Namun, berbagai peristiwa tragis akibat parahnya kerusakan lingkungan sudah
telanjur terjadi. “Membangun tanpa merusak lingkungan” yang dulu pernah gencar
digembar-gemborkan pun hanya slogan belaka. Realisasinya, atas nama
pembangunan, penggusuran lahan dan pembabatan hutan terus berlangsung.
Sementara itu, hukum pun makin tak berdaya menghadapi para “bromocorah”
lingkungan hidup yang nyata-nyata telah menyengsarakan jutaan umat manusia.
Para investor yang nyata-nyata telah membutakan mata dan tidak menghargai
kearifan lokal masyarakat setempat justru dianggap sebagai “pahlawan” lantaran
telah mampu mendongkrak devisa negara dalam upaya mengejar pertumbuhan ekonomi
dan daya saing bangsa.
Meskipun demikian, hanya mencari “kambing hitam” siapa yang bersalah dan
siapa yang mesti bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan hidup bukanlah
cara yang arif dan bijak. Lingkungan hidup merupakan persoalan kolektif yang
membutuhkan partisipasi semua komponen bangsa untuk mengurus dan mengelolanya.
Pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), semua
warga masyarakat, dan komponen bangsa yang lain harus memiliki “kemauan
politik” untuk bersama-sama menjaga kelestarian lingkungan hidup dari ulah
tangan jahil para preman dan penjahat lingkungan. Hal itu harus dibarengi
dengan tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup
yang nyata-nyata telah terbukti menyengsarakan banyak umat manusia. Pedang
hukum harus benar-benar mampu memancung dan memenggal kepala para penjahat
lingkungan hidup untuk memberikan efek jera dan sekaligus memberikan pelajaran
bagi yang lain.
Yang tidak kalah penting, harus ada upaya serius untuk
membudayakan cinta lingkungan hidup melalui dunia pendidikan. Institusi
pendidikan, menurut hemat saya, harus menjadi benteng yang tangguh untuk
menginternalisasi dan menanamkan nilai-nilai budaya cinta lingkungan hidup
kepada anak-anak bangsa yang kini tengah gencar menuntut ilmu. Nilai-nilai
kearifan lokal masyarakat setempat perlu terus digali dan dikembangkan secara
kontekstual untuk selanjutnya disemaikan ke dalam dunia pendidikan melalui
proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Pola dan gaya penyajiannya pun tidak bercorak teoretis dan dogmatis seperti
orang berkhotbah, tetapi harus lebih interaktif dan dialogis dengan mengajak
siswa didik untuk berdiskusi dan bercurah pikir melalui topik-topik lingkungan
hidup yang menarik dan menantang.
Lingkungan hidup yang disemaikan melalui dunia
pendidikan tidak harus menjadi mata pelajaran tersendiri, tetapi disajikan
lintas mata pelajaran melalui pokok-pokok bahasan yang relevan. Dengan kata
lain, lingkungan hidup tidak cukup hanya menjadi tanggung jawab guru Geografi
atau IPA saja, misalnya, tetapi harus menjadi tanggung jawab semua guru mata
pelajaran.
Mengapa budaya cinta lingkungan hidup ini penting
dikembangkan melalui dunia pendidikan? Ya, karena jutaan anak bangsa kini
tengah gencar menuntut ilmu di bangku pendidikan. Merekalah yang kelak akan
menjadi penentu kebijakan mengenai penanganan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang baik. Menanamkan nilai-nilai budaya cinta lingkungan hidup kepada
anak-anak bangsa melalui bangku pendidikan sama saja menyelamatkan lingkungan
hidup dari kerusakan yang makin parah. Dan itu harus dimulai sekarang juga.
Depdiknas yang memiliki wewenang untuk menentukan kebijakan harus secepatnya
“menjemput bola” agar dunia pendidikan kita mampu melahirkan generasi masa
depan yang sadar lingkungan dan memiliki kepekaan terhadap persoalan yang
dihadapi masyarakat dan bangsanya. Nah, bagaimana? ***
Dikutip dari Sawali Tuhusetya in Artikel, Budaya, Opini, Pendidikan, politik, Refleksi, sosial, tradisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar